30.12.10

Acuan Penting Bagi Studi Sastra

Judul Buku: Beginning Theory -- Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya
Penulis: Peter Barry
Penerjemah: Harviyah Widyawati dan Evi Setyarini
Penerbit: Jalasutra
Cetakan pertama, April 2010

Pada awalnya adalah imajinasi -- atau inspirasi. Bisa juga ide dan gagasan-gagasan cemerlang. Kemudian ditambah dengan pembacaan atas situasi yang terjadi pada masyarakat, atau upaya mengekalkan sebuah peristiwa yang diperkirakan akan selalu dikenang, sebuah karya sastra pun lahirlah. Kelahirannya disambut dengan berbagai reaksi dari sidang pembaca. Ada pembaca yang hanya mampu memberi kesan; ada yang memuji-muji setinggi langit; ada juga yang menganggapnya sampah.

Studi sastra pada hakikatnya muncul atas berbagai reaksi ini. Para kritikus sastra muncul karena tak puas bila hanya memberikan pujian samar atas suatu karya sastra yang apik dengan kesan-kesan yang subyektif; atau mencaci-maki sebuah karya sastra yang dinilai norak dan tak bermutu. Perlu ada telaah yang memadai, yang menjawab beberapa pertanyaan seperti: apa keunggulan karya sastra tertentu, mengapa sebuah karya dianggap penting, atau bagaimana sebuah karya sastra berupaya menangkap dan merepresentasi realitas zaman ketika ia diciptakan.

Adalah Aristoteles, yang mungkin saja menjadi tokoh pertama dalam memulai kegiatan membuat studi sastra. Karyanya yang berjudul Poetics berisi uraian Aristoteles atas berbagai sifat sastra. Ia menganggap bahwa tokoh di dalam sebuah karya memiliki kedudukan yang amat vital. Ia mengedepankan istilah katarsis yang menjadi acuan dalam memahami sebuah cerita: perpaduan simpati bagi dan empati terhadap tokoh utama yang ada pada sebuah kisah atau tragedi.

Selanjutnya, tokoh yang memiliki minat dalam mengembangkan telaah tentang sastra adalah Sir Philip Sidney yang menulis buku Apology for Poetry sekitar tahun 1580. Dalam buku ini ia mengembangkan gagasan tentang misi sastra yang pernah dicetuskan oleh penyair Latin Ovid yaitu docere delictendo: sastra ditulis dengan tujuan untuk mengajar dengan cara menghibur.

Studi sastra terus berkembang dengan pemikiran para humanis liberal di abad ke-20. Di masa ini banyak tokoh yang berupaya membahas dan menakar berbagai aspek sastra yang dianggap penting -- salah satunya Matthew Arnold. Arnold menerapkan standar yang ia sebut batu ujian bagi karya-karya sastra yang baru atau diproduksi di zamannya. Batu ujian yang dimaksud Arnold adalah karya-karya sastra klasik yang dipelajari lintas-generasi: karya-karya sastra yang gaungnya dianggap tak lekang oleh perubahan zaman.

Semua upaya studi sastra pada akhirnya membuat para kritikus sastra mengusung dan mengejawantahkan beberapa teori sosial-budaya yang berkembang. Hal ini dilakukan karena sastra tak hanya memuat representasi yang melulu bersifat linguistis terhadap berbagai realitas dan peristiwa sosial. Sastra seringkali lahir karena berbagai gejolak dan persoalan yang ada di suatu masyarakat -- walau dalam taraf tertentu memuat kadar estetika yang lahir dari kecenderungan pribadi penciptanya. Dengan demikian, maka teori-teori yang dipergunakan untuk mengkaji soal-soal dalam masyarakat menjadi relevan bila dipergunakan dalam sastra.

Seorang linguis Swiss, Ferdinand de Saussure, mengembangkan strukturalisme yang awalnya diperkenalkan oleh Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes. Para strukturalis menganggap bahwa bahasa membentuk dunia: cara seseorang melihat dunia adalah apa yang dilihatnya. Para strukturalis cenderung memfokuskan kajian mereka dengan menemukan pola dan kesamaan yang ada pada suatu genre sastra tertentu.

Selanjutnya ada paham lain yang berkembang yaitu postrukturalisme. Uniknya, tokoh yang mengembangkan paham ini juga Roland Barthes sendiri, bersama Jacques Derrida. Beberapa kalangan menilai postrukturalisme merupakan pembangkangan terhadap strukturalisme karena kaum postrukturalis beranggapan kalau kaum strukturalis tidak memiliki standar yang pasti dalam mengukur apa pun. Berbeda dengan strukturalis yang cenderung menyajikan kritik yang netral dan anonim -- tipikal dengan tulisan ilmiah para akdemisi, kaum postrukturalis lebih emosional dan flamboyan dalam mendekati sebuah karya sastra.

Berbagai wacana yang ada pada paham-paham lainnya dibahas di buku ini. Paham-paham yang berangkat dari upaya menafsir realitas sosial-budaya itu menjadi panduan bagi studi sastra, seiring banyaknya dan beragamnya teks sastra yang dihasilkan para sastrawan. Ada bahasan seputar bagaimana sastra dikaji dan ditelaah lewat paham posmodernisme, psikoanalisis, feminisme, Marxisme, poskolonialisme, stilistika, materialisme kultural; bahkan kajian karya sastra yang memuat isu-isu gay dan lesbian.

Selain bahasannya yang terbilang utuh atas berbagai paham, hal lain yang menarik di buku ini adalah bagian berupa jeda dalam tiap bab yang oleh penulisnya diberi tajuk Berhenti dan Pikirkan. Lewat bagian ini para pembaca diajak untuk menelusuri lebih jauh eksplanasi suatu topik atau bahasan tertentu, atau kadangkala diajak untuk mengingat kembali sesuatu yang ada kaitannya dengan bahasan yang diketengahkan. Subjudul buku ini, Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya, memang sepadan bila para pembaca menyimak bab demi bab yang ditulis oleh Peter Barry, seorang dosen senior kajian bahasa Inggris di Universitas Wales di Aberystwyth.

Menjelang akhir tiap bab juga ada subjudul Yang Dilakukan Kritikus untuk menyimpulkan bahasan yang sudah diketengahkan di sekujur sebuah bab buku. Misalnya bab yang membahas tentang posmodernisme, maka di bagian akhirnya ada subjudul Yang Dilakukan Kritikus Posmodernisme. Setelah itu, ada beberapa bacaan pilihan yang memungkinkan para pembaca menelusuri lebih jauh bahasan yang berkaitan dengan suatu bab.

Buku ini patut dijadikan acuan bagi para peminat studi sastra. Di tanah air kita melihat teks-teks sastra semakin banyak diproduksi. Geliat perkembangan ini mestinya diimbangi dengan lahirnya para kritikus sastra yang bersedia menelaah muatan karya sastra menggunakan berbagai pendekatan dan teori sastra yang relevan. (*)

Sidik Nugroho, pembaca buku

No comments:

Post a Comment