2.4.10

Zakheus, Gayus, dan Refleksi Paskah

Sidik Nugroho*)

Dalam The Merchant of Venice yang ditulis pada akhir abad ke-16 dikisahkan seorang Yahudi bernama Shylock yang memberi pinjaman uang kepada Antonio. Di kemudian hari, Antonio tak mampu membayar pinjamannya, apalagi dengan bunga yang begitu tinggi. Sebagai gantinya, satu pon tubuh Antonio ia minta sebagai gantinya.

Shakespeare membuat kisah ini dengan mengetengahkan realitas penting tentang karakter orang Yahudi yang terkenal tamak dan serakah. Dan keserakahan ini nyata dalam catatan sejarah yang lebih lampau, yang tertuang dalam kitab suci tentang seorang tokoh bernama Zakheus.

Zakheus

Zakheus disebutkan di Alkitab sebagai seorang kepala pemungut cukai, atau kepala pajak. Pada saat Zakheus berkuasa, Yesus tengah mewartakan Injil, mengajak semua orang berbalik dari dosa-dosa mereka. Zakheus yang berbadan pendek suatu ketika takjub dengan orang-orang yang sangat antusias mendengarkan pengajaran Yesus. Ia pun naik ke atas pohon, ingin melihat rupa Guru Agung itu.

Tak dinyana oleh Zakheus, Yesus yang tengah naik daun itu menyatakan akan mampir ke rumahnya. Ia pun bergegas turun; dengan sukacita berlimpah-limpah menyambut kedatangan Yesus.

Tindakan Yesus terhadap Zakheus saat itu tergolong radikal. Pada masa itu, orang-orang yang berprofesi sebagai pemungut cukai sangat dibenci orang-orang Yahudi lainnya. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan penguasa Romawi yang saat itu menjajah bangsa Yahudi.

Namun tindakan radikal itu berbuah sukacita besar. Di rumahnya Zakheus menyatakan diri bertobat. Sebagai bukti pertobatannya, Zakheus menyatakan akan melepas separuh kekayaannya untuk disumbangkan bagi orang-orang miskin. Bahkan dia juga menyatakan, seandainya ada harta-kekayaan yang didapatnya dengan cara memeras orang lain akan dikembalikannya empat kali lipat.

Gayus

Sejak zaman dulu, bahkan tampaknya sebelum zaman Yesus dan Zakheus, urusan yang berkaitan dengan pajak kerapkali menimbulkan persoalan tipu-menipu dan peras-memeras. Gayus Halomoan P. Tambunan, baru-baru ini menjadi perbincangan banyak kalangan karena kasus korupsi sebanyak 25 miliar rupiah yang dilakukannya.

Keseluruhan gaji yang diterima Gayus terakhir 12,1 juta rupiah sebulan. Ini ia dapatkan dengan masa kerja 5 tahun. Bila dikalkulasi, gaji yang ia terima sejak pertama kali bekerja -- tanpa penelusuran atas jumlah yang diterimanya pada tahun-tahun awal -- paling banyak sebesar 700 juta rupiah lebih. Itu pun kalau gaji itu sama sekali tak diutak-atik.

Kasus Gayus dapat terjadi karena ia seorang yang menjabat sebagai Petugas Penelaah Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Gayus memiliki tugas melayani keluhan wajib pajak yang keberatan dengan penghitungan petugas pajak. Bila keluhan tak bisa diterima si wajib pajak, ia akan menaikkan persoalan itu ke Badan Pengadilan Pajak. Karena hal ini, Gayus memiliki akses berkomunikasi dengan hakim di Pengadilan Pajak.

Mengingat kedudukannya yang masih berada pada tingkat di bawah hakim pajak, Gayus tentunya tak bekerja sendiri. Persoalan pelik ini, sama seperti berbagai persoalan korupsi lainnya di negeri ini, susah diuraikan, sistemik.

Refleksi Pajak dan Paskah

Di hari Minggu nanti umat Nasrani akan merayakan Paskah. Momen ini sangat penting karena di dalamnya terpapar secara gamblang intisari iman Kristen: kasih dan penebusan Allah bagi umat-Nya. Kristus mati menebus kesalahan, dosa diampuni. Hidup baru atas pengampunan dosa itu pun dilakukan oleh umat yang memahami karya penebusan-Nya. Karya penebusan itu mampu mengubah hati kita dengan cara yang lebih sempurna.

Alih-alih membuat data serba transparan dan terperinci atas "dosa-dosa orang pajak" selama ini, yang penting dan vital dibenahi adalah mental orang-orang pajak itu sendiri: mental yang sudah diubahkan, bukan mental yang korup. Perlu ada kesadaran seperti yang dimiliki Zakheus untuk menjadi seorang yang bekerja di perpajakan.

Zakheus yang mendengar berita tentang Yesus di masa silam memutuskan bertobat setelah bertemu Yesus. Dia bersedia mengembalikan harta hasil korupsi sesuai dengan hukum yang diberlakukan Musa, yaitu hukum Taurat, hukum "mata ganti mata, gigi ganti gigi."

Slogan "orang bijak taat pajak" yang telah dirilis ke publik sejak puluhan tahun silam tak "hanya" slogan. Slogan ini memuat bayang-bayang menakutkan dengan adanya pemberlakuan beberapa aturan baru yang memuat sanksi dan hukuman yang cukup berat, sementara para pemberlakunya sendiri hidup dalam kecurangan yang membuat panas hati.

Memang benar, sebaiknya orang bijak taat pajak, namun bilamana dalam ketaatannya uang negara justru dibajak orang-orang pajak, maka kita perlu meredifinisi lagi bukti kebijakan kita: bukan hanya taat. ***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pemerhati masalah sosial