10.1.11

Ucapan Selamat Natal: Tolok Ukur Toleransi Beragama?

Sebuah refleksi pribadi tentang Natal dan hubungan sosial

Yesus Kristus, atau yang disebut juga Nabi Isa, tidak pernah dicatat dalam sejarah lahir tanggal 25 Desember. Ia bahkan tidak pernah bersabda agar umat-Nya merayakan hari kelahiran-Nya. Namun, dari tahun ke tahun, Natal terus dirayakan umat Nasrani. Natal sudah menjadi tradisi untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai Juruselamat bagi orang yang menerima-Nya.

Kali ini saya hendak menuangkan dengan jujur apa yang saya alami selama beberapa tahun belakangan, utamanya berkaitan dengan ucapan selamat Natal yang dari tahun ke tahun semakin sedikit saya terima dari teman dan sahabat saya yang Muslim.

Saya sangat berharap, bagi Anda yang ingin mengetahui pengalaman saya ini, menyimaknya sampai akhir. Saya tidak membahas tentang hal-hal yang bersifat teologis dan historis, atau sebutlah semacam studi perbandingan agama, namun sekedar menuangkan pengalaman saya dan berharap ada timbal-balik yang konstruktif dari pembaca untuk kelanggengan hubungan sosial; serta keharmonisan dalam kebhinekaan dan keberagamaan di negeri Pancasila ini.

| | |

Bagi sebagian orang Muslim, mengucapkan selamat Natal adalah haram. Mereka menyusun ajaran ini dengan ditopang berbagai landasan pemikiran yang menyertakan aspek historis dan teologis. Hal yang paling mendasar adalah yang saya sebutkan di atas tadi: Yesus Kristus tidak pernah lahir tanggal 25 Desember.

Di sinilah umat Nasrani perlu memahami duduk persoalannya. Saya pernah mendengar ada orang Nasrani yang menganggap orang Muslim berhaluan garis keras hanya gara-gara tidak mengucapkan selamat Natal. Kalau begini sudah kelewatan.

Sepanjang empat tahun terakhir, saya tak pernah luput mengirimi ucapan selamat Idul Fitri disertai mohon maaf lahir dan batin kepada teman dan sahabat saya yang Muslim lewat pesan pendek. Jumlah teman yang saya beri ucapan mencapai angka seratus lebih. Namun, pada saat Natal, ucapan selamat yang saya terima semakin sedikit dari tahun ke tahun. Tahun lalu, 2010, teman Muslim saya yang memberikan ucapan selamat Natal lewat pesan pendek bisa dihitung dengan jari kiri dan kanan tangan.

| | |

Menanggapi masalah ini, beberapa teman Nasrani ada yang langsung membuat pernyataan kalau orang Muslim semakin tidak toleran. Saya bukan orang yang suka berpikir positif atas apa yang tampaknya negatif. Saya cukup resah dengan ajaran "berpikir positif" yang kerap dijadikan pengalihan untuk menelusuri sebuah persoalan yang sebenarnya bisa ditelisik lebih jauh secara objektif dan terbuka. Ada juga yang menyatakan sambil lalu, "Ah, mungkin mereka lupa." Pernyataan-pernyataan demikian saya yakin tidak menyentuh ke inti persoalan. Persoalannya bukan tidak toleran atau lupa, atau alasan lain yang dikarang-karang untuk menunjukkan bahwa segalanya memang sedang baik-baik saja.

Persoalan yang hendak saya ketengahkan adalah: Bila memang orang-orang Muslim itu tidak mau memberikan ucapan selamat Natal, apakah ketidakmauan itu didasari pula -- selain landasan historis dan teologis -- dengan kebencian? Inilah yang saya kuatirkan. Saya kuatir makin banyak muncul orang Muslim yang hatinya dilandasi kebencian antipati terhadap orang Nasrani.

Dalam tahap yang parah kita sudah melihat adanya gereja yang diteror, atau penganiayaan-penganiayaan terhadap orang Nasrani di negeri ini. Para peneror dan penganiaya adalah orang-orang Muslim garis keras -- atau mereka yang berkedok sebagai orang Muslim -- yang dulunya pasti juga menerima ajaran yang dilandasi pula dengan kebencian terhadap orang Nasrani.

Saya bersyukur memiliki teman-teman Muslim yang baik. Di akhir tahun lalu, 2010, saya duduk semeja dengan beberapa teman yang semuanya Muslim dan semuanya tidak mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya tidak gelisah dan canggung sedikit pun. Saya menghabiskan waktu hingga subuh, tertawa riang dan berbagi cerita bersama mereka. Orang-orang Muslim seperti ini banyak saya jumpai di kehidupan saya -- orang-orang yang paham benar apa itu ajaran: "Agamamu agamamu, agamaku agamaku." Sementara para teroris, penganiaya, dan pembenci orang Nasrani, hanya memaksakan ajaran agama mereka disertai kebencian untuk menyatakan: "Agamaku lebih baik daripada agamamu."

| | |

Masih banyak persoalan toleransi antar umat beragama yang perlu disikapi dengan lebih bijaksana dan hati-hati. Toleransi, sejatinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Dan sekali lagi saya bersyukur untuk beberapa hal. Pertama, saya memiliki keluarga besar yang plural -- kakak-adik dari pihak ayah saya sampai sepuluh orang dan terbagi menjadi tiga penganut agama: Kristen, Katolik, dan Islam.

Lalu, saya bersyukur dapat bekerja di sekolah di mana multikulturalisme dan perbedaan agama menjadi salah satu prioritas pengembang sekolah untuk dihargai. Di sekolah saya ada seorang murid saja yang beragama Buddha; dan untuk satu orang siswa itu disediakan guru agama. Di sekolah ini juga saya memiliki rekan kerja dan sahabat-sahabat Muslim yang berbagi suka dan duka selama hampir empat tahun saya ada di sana.

Keluarga, teman-teman, dan rekan kerja yang Muslim ini, pada akhirnya membantu saya untuk melihat bahwa toleransi lebih terasah dalam keseharian, bukan dalam hari-hari besar agama. Kini, saya beranggapan, ucapan selamat Natal diberikan atau tidak, tidak jadi soal. Selama kita dapat hidup berdampingan dengan saling mengasihi, tanpa ada kebencian, saya yakin, di situ toleransi dapat dinyatakan. ***

Malang-Sidoarjo, awal tahun 2011

3.1.11

Guru, Penulis, dan Bapak Bangsa yang Visioner

“Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”

~ Tan Malaka, Massa Actie

Sebuah bangsa memang tak pernah lahir dari pemikiran dan hasil kerja keras satu orang. Tangan-tangan yang menenun sebuah bangsa dapat diibaratkan dengan warna-warni pelangi. Begitu pula dengan Indonesia. Bila kita berupaya melacak jejak para pendiri bangsa ini, Soekarno dan Hatta akan menjadi dua sosok utama. Namun, beberapa sosok lain yang penting, kerap terpinggirkan, terlupakan.

Salah satunya adalah Tan Malaka, yang di masa Orde Baru identik dengan komunis. Dan (kita) semua yang pernah hidup di masa itu tahu, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan komunis dan PKI adalah “haram” untuk ditelusuri dan dipelajari, apalagi “dikonsumsi” sebagai wacana khalayak pada umumnya.

Padahal, Tan Malaka, yang lahir pada tahun 1897, adalah seorang yang di masa kecilnya mewarisi tradisi Minang: rajin sembahyang, tidur di masjid, dan hapal Qur’an. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Walaupun badung dan kerap bertingkah nekat, ia cerdas dan energik. Pada tahun 1913, ia berangkat ke Belanda untuk menjadi seorang guru dengan bantuan seorang guru Belanda bernama G.H. Horensma.

Namun, selama 6 tahun di Belanda, orientasinya bercabang-cabang. Ia mulai tertarik dengan politik. Ia juga suka olahraga dan musik. Ia tidak menyelesaikan sekolah guru di Haarlem, Belanda, mengaku susah untuk mendapatkan izin mengajar. Begitu pulang ke Indonesia pada tahun 1919, ia bertekad mengubah kondisi bangsa Indonesia yang terjajah.

Tan Malaka dan Komunisme

Salah satu hal yang membuat Tan Malaka dinilai berhaluan kiri karena perannya yang cukup besar dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pengagum berat ajaran-ajaran Marx dan Lenin. Tahun 1921 ia menjadi ketua PKI — menggantikan ketua PKI saat itu, Semaun, yang sedang berada di Moskow.

Namun, pada perkembangan selanjutnya, Tan agak berseberangan dengan beberapa tokoh komunis dalam negeri seperti Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso. Hal ini bermula pada rapat PKI tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, Semarang, yang memutuskan mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Tan menilai PKI tidak siap melakukan hal itu. Ia meramalkan banyak kegagalan yang bakal dituai PKI dalam aksi itu. Ia bahkan menulis sebuah buku Massa Actie (Aksi Massa) untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama sebelum sebuah aksi pemberontakan digelar. Buku Massa Actie yang ditulisnya di Singapura tidak sampai sasaran; belakangan malah dijadikan para nasionalis sebagai bahan pembelajaran melawan imperialisme.

PKI tetap melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan pemogokan diikuti sabotase dan perlawanan bersenjata di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera pada 12 November 1926 sampai 12 Januari 1927. Target pemberontakan mereka banyak yang gagal. Banyak pemimpin PKI yang ditangkap dan dibuang. Namun Tan tetap menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional) yang menjadi pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Dengan beberapa kawan ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada bulan Juni 1927.

Ignas Kleden, sosiolog, menyebutnya “… Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya.” Salah satu pandangan Tan tentang agama ada dalam baris-baris kalimat berikut, yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia:

“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”

Tan Malaka, Karya-karyanya, dan Dunia Pendidikan

Tan Malaka adalah seorang yang suka mengungkapkan isi pikirannya dengan tulisan. Salah satu buah pikirnya yang terkenal, Madilog (Materialisme Dialektika Logika), ditulis di Rawajati, di sebuah gubuk bambu berukuran 15 meter persegi. Tan menulisnya dari pukul 6 pagi sampai 12 siang; dari 15 Juli 1942 sampai dengan 30 Maret 1943. Ia sering mencari rujukan di Museum Nasional yang ditempuh 4 jam kalau berjalan kaki.

Madilog adalah buku filsafat yang dibuat Tan Malaka untuk mengajak pembacanya merenungkan berbagai hal dalam kehidupan. Ia melandaskan pemaparannya pada teori-teori filsafat yang telah dikembangkan oleh para filsuf Barat. Buku Tan yang lain, Naar de Republiek Indonesie (Menuju Republik Indonesia), menjadi bacaan yang sangat diminati oleh para pemuda dan aktivis pergerakan di Indonesia. Edisi pertama buku ini ditulis Tan di Kanton, April 1925, dan tidak jelas berapa eksemplar yang tersebar. Tan mencetak lagi buku itu saat berada di Filipina pada bulan Desember 1925. Cetakan kedua ini menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.

Salah satu bagian yang penting yang ditulisnya dalam buku ini adalah perlawanan yang kuat terhadap imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme — hal-hal yang ditentang pula oleh paham komunis. Ia menulis:

“Jika kita bayangkan kapitalisme sebagai satu gedung dan negeri-negeri di dunia adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah satu dari tiang-tiang itu. Kita mengetahui sebelumnya bahwa cepat atau lambat gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya. Akan tetapi wujud dan luas runtuhannya serta cara bagaimana runtuhnya, hanya praktek yang akan menentukan.”

Salah satu minat dan perhatian Tan Malaka lainnya adalah pendidikan. Di dalam karyanya Naar de Republiek Indonesie ia menulis, “Berat rasanya melaksanakan pekerjaan pendidikan di bawah kekuasaan yang tak segan-segan berdusta, memperkosa undang-undang yang dibikin sendiri, menginjak-injak hak-hak rakyat.”

Ia ingin anak-anak Indonesia melek aksara, lancar berhitung, dan kaya pengetahuan. Ini tak lain karena ia dibesarkan dari keluarga yang hidup pas-pasan. “Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting,” tulisnya dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara.

Kesempatan itu akhirnya datang saat ia berada di Semarang. Dengan dukungan dana dan beberapa teman di Sarekat Islam (SI) ia mendirikan sekolah rakyat. Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan dan pengajaran di sekolah ini ia tuangkan dalam buku SI Semarang dan Onderwijs. Di kemudian hari, pendidikan model Tan Malaka ini terus berkembang di berbagai kota di Indonesia.

Tiga tujuan atau dasar pengembangan pendidikan dan kerakyatan yang dirumuskannya dalam buku itu sebagai berikut:

1. Pendidikan keterampilan/Ilmu Pengetahuan, seperti: berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat kemodalan.

2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.

3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Tan Malaka adalah sosok yang berusaha melihat segala sesuatu sedekat mungkin. Itulah salah satu yang memantik niatnya menuliskan sesuatu. Saat berada di Bayah, ia mengamati kehidupan romusha yang penuh kesengsaraan. Tak jarang ia berbagi makanan dengan para romusha. Saat itu ia bekerja sebagai seorang kerani di Kantor Sosial. Para romusha, budak-budak Jepang itu, sehari cuma digaji 40 sen dan seperempat kilo beras.

Tan mencatat 400-500 romusha meninggal tiap bulan. Luas pemakaman mereka hingga akhir pendudukan Jepang mencapai 38 hektar. Kenyataan hidup yang pahit ini tak membuatnya tinggal diam. Dicatatnya kehidupan romusha itu, lalu dibuatnya sebuah buku bertajuk Rencana Ekonomi Berjuang.

Bapak Bangsa yang Radikal

Selama 20 tahun lebih Tan Malaka hidup sebagai penyamar dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia menyamar dengan berbagai nama. Ia menyamar karena menghindari kejaran polisi rahasia Inggris, Amerika, dan Belanda yang sangat membenci ajaran komunisme. Ia pernah mendapat suaka di Filipina. Ia menyebut Filipina sebagai tanah air keduanya. Oleh beberapa rakyat Filipina ia disandingkan dengan pahlawan legendaris Filipina Jose Rizal.

Setelah kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1942, Tan kembali memikirkan cara-cara meraih kemerdekaan Indonesia. Saat ini ada Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Tan Malaka. Tiga-tiganya berasal dari Minang. Namun, tiga orang ini memiliki pandangan yang berbeda soal perjuangan. Setelah Indonesia merdeka, Hatta menjadi wakil presiden, Sjahrir menjadi perdana menteri.

Ketika Indonesia sedang dalam pergulatan menghadapi agresi militer Belanda, Soekarno dan Hatta berusaha menempuh cara-cara diplomatis melalui meja-meja perundingan. Tan Malaka tak menyetujui cara-cara itu: Indonesia harus merdeka 100 persen; meja-meja perundingan hanya akan membuat kemerdekaan tak sepenuhnya diraih rakyat Indonesia. Ia lalu menemukan sosok yang senada-juang dengannya, Jendral Soedirman, seorang mantan guru juga. Jendral Soedirman, sama radikalnya dengan Tan Malaka, menyatakan: “Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.”

Kematian Tan Malaka: Sebuah Misteri

Suatu waktu Bung Karno diperingatkan oleh Tan Malaka agar berhati-hati terhadap Belanda. Tan Malaka menyatakan kalau pusat pemerintahan perlu dipindah ke pedalaman dan pemimpin negara perlu diungsikan. Bung Karno akhirnya mengeluarkan testamen politik, “… jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.” Hatta tak menyetujui pilihan Soekarno untuk melimpahkan kekuasaan pada satu orang saja. Ia pun menambahkan tiga nama lain, yaitu Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro, agar mewakili semua kelompok.

Bersama Soedirman, Tan Malaka bergerilya melancarkan serangan-serangan terhadap Belanda. Mereka tidak berada dalam satu kesatuan, namun sevisi-semisi. Namun, apa yang dilakukannya kemudian menjadi ancaman bagi dirinya sendiri.

Saat Soekarno ditawan Belanda pada 19 Desember 1948, Tan Malaka bersama Mayor Sabarudin mendirikan Rakyat Murba Terpendam dan mulai menyebarkan pamflet dan berpidato, menyatakan dirinya sebagai pemimpin revolusi Indonesia (sesuai testamen yang diberikan Soekarno kepadanya) sambil bergerilya bersama 50 orang pengawal bawaan Mayor Sabarudin.

Saat bergerilya bersama Sabarudin, Tan mengkritik tentara divisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dianggapnya pengecut. Mendengar kritik itu, Soengkono memerintahkan anak buahnya, Soerahmad, agar mengawasi Tan Malaka yang baginya “… membahayakan perjuangan Republik Indonesia.”

Saat Soerahmad dan pasukannya menghampiri markas pasukan Tan Malaka, tak diduga tentara Belanda datang juga menyergap pasukan Tan Malaka di Kediri. Pasukan Tan Malaka kocar-kacir. Bersama 6 pengawal, ia melarikan diri sejauh 60 kilometer ke arah selatan dan kemudian melewati daerah Selopanggung, Kediri, yang dikuasai Batalion Sikatan. Enam pengawal Tan kocar-kacir, tiga di antara mereka tertembak.

Di sinilah Tan kemudian bertemu dengan Soekotjo, pihak yang selama ini diduga kuat menembak Tan Malaka. Tragis, seorang pria yang telah berjuang demi negaranya, bahkan memikirkan nasib dan masa depan bangsanya saat berada di negeri-negeri lain, tewas ditembak mati di sebuah desa kecil di negerinya sendiri.

Bung Hatta memecat Kolonel Soengkono sebagai pimpinan tentara divisi Jawa Timur setelah mendengar kabar kematian Tan Malaka. Beberapa tahun kemudian Soekarno menganugerahi Tan Malaka gelar pahlawan. Tan Malaka hingga kini masih dikenang, terutama lewat karya-karyanya. Walaupun namanya tak dicatat dalam buku-buku pelajaran Sejarah di tanah air, perannya dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia tak bisa dilupakan. (*)

Sumber-sumber tulisan:

Arif Zulkifli (editor), dkk. 2010. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta: KPG dan Tempo

Tan Malaka. 1925. Naar de ‘Republiek Indonesia’. Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1924-Menuju.htm

Tan Malaka. 1921. SI Semarang dan Onderwijs. Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1921-SISemarang.htm

Tan Malaka. 1922. Komunisme dan Pan-Islamisme (Catatan-rekaman pidato Tan Malaka di kongres Komintern, Rusia). Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm

Singkawang-Pontianak, awal Januari 2011