22.3.10

Unas: Standarisasi yang Perlu Ditilik Ulang

Dasar Hukum dan Persoalan Kelulusan

Penetapan 22 Maret 2010 sebagai tanggal pelaksanaan Ujian Nasional (Unas) bagi pelajar SMA tentunya menjadi beban dan tanggungan yang cukup berat untuk para guru dan siswa. Bukan hanya para guru dan siswa SMA, namun seluruh guru dan siswa di berbagai jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga menengah tentunya dilanda kegusaran. Awalnya, beberapa pihak menduga seiring dengan pergantian menteri di kabinet baru, ada pula perubahan kebijakan tentang Unas. Bahkan ada yang berharap Unas tak jadi diadakan tahun ini.

Namun Unas tetap dilaksanakan. Pemerintah tetap menjadikan Unas sebagai "penilaian hasil belajar oleh Pemerintah" seperti yang termaktub dalam pasal 63 ayat (1) butir c PP Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Komposisi mata pelajaran yang diujikan kemudian diatur dalam pasal 70 PP tersebut. Dan di pasal 72 ayat (1) butir d di PP yang sama dengan lugas dinyatakan bahwa siswa dinyatakan lulus sekolah bila "lulus ujian Nasional".

Karena kedudukannya yang sangat vital dalam menentukan kelulusan, Unas kerap mendatangkan kepanikan tersendiri. Di beberapa daerah di Indonesia bahkan tercatat beberapa kecurangan yang diberlakukan terkait proses pelaksanaan Unas. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kunci jawaban Unas menjadi barang yang laris-manis diperdagangkan pada saat menjelang Unas.

Bila siswa tidak lulus, yang repot bukan hanya muridnya. Di sebuah daerah pedalaman Indonesia, siswa yang tidak dinaikkan kelas saja menimbulkan reaksi keras dari pihak orang tua murid: ada orang tua murid yang membawa parang ke sekolah demi menantang keputusan guru tersebut. Mungkin kejadian itu membuat kita berpikir bahwa ketidaknaikan siswa (atau ketidaklulusan siswa) karena kesalahan guru: Guru tidak mengajarkan materi yang nantinya diujikan (atau di-Unas-kan). Sah-sah saja jikalau kita beranggapan demikian.

Namun, bila kita menilik lebih jauh, yang paling gagal dalam keruwetan sistem pendidikan kita adalah kebijakan dan pembuat kebijakan dalam dunia pendidikan.

Kurikulum dan Penerapan Pembelajaran

Kurikulum yang menjadi acuan bagi pendidikan kita saat ini, yakni Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah wujud pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Dalam memposisikan kurikulum ini sebagai acuan pembelajaran, tentulah pemerintah sebagai pembuat kebijakan telah memahami adanya perubahan situasi dan zaman: salah satunya ditandai dengan diberlakukannya otonomi daerah. KTSP sebagai kurikulum yang mengikuti arus perubahan zaman memberikan ruang yang cukup leluasa untuk tiap sekolah di seluruh Indonesia dalam mengemas dan mengembangkan kegiatan pembelajaran.

Di dalam KTSP, yang perlu dijadikan acuan mutlak oleh para guru dalam mengembangkan rancangan dan kegiatan pembelajaran di kelas adalah Standar Isi yang memuat Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD). Pengejawantahan kedua hal tersebut dalam rancangan dan kegiatan pembelajaran di kelas diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah -- yang tentunya bukan hanya melibatkan guru, namun juga kepala sekolah dan komite sekolah yang merupakan perwakilan orang tua murid.

Dari pemaparan keadaan di atas terbentanglah suatu kenyataan: pihak sekolah mana pun akan memiliki karakteristik pembelajaran yang berbeda. Pembelajaran sebuah mata pelajaran di Jawa Timur akan berbeda dengan di Papua; karena tingkat satuan pendidikan mana pun di seluruh Indonesia memiliki kewenangan dalam mengemas bahan ajar.

Dengan kondisi itu maka Unas perlu ditilik ulang. Unas terasa sedikit kelewatan dalam kerangka berpikir ini: Segenap pembelajaran yang selama bertahun-tahun diserahkan kepada tiap satuan pendidikan di tiap daerah untuk secara bebas dikelola dan dikembangkan, pada akhirnya harus diakhiri dengan mengikuti sebuah ujian yang dibuat oleh pusat.

Memang ada tiga syarat lain yang tertuang dalam pasal 72 ayat (1) PP Nomor 19 tahun 2005 tentang kelulusan yang menjadi wewenang sekolah: berhasil menempuh ujian sekolah, memperoleh nilai minimal pada beberapa kelompok mata pelajaran, dan menyelesaikan seluruh program pembelajaran. Namun wewenang sekolah sangat terbatas karena pelaksanaan Unas memuat tuntutan yang jauh lebih besar dan ketentuan-ketentuan yang berat.

Lembaga Bimbingan atau Perubahan Kebijakan

Karena tuntutan dan ketentuan-ketentuan Unas yang kemudian diatur dalam Permendiknas menyaratkan pencapaian siswa dalam standar yang tinggi, maka layanan-layanan persiapan menjelang Unas yang diberikan lembaga-lembaga bimbingan menjadi laris-manis. Sayangnya, lembaga-lembaga pendidikan itu lebih banyak terdapat di kota-kota besar. Dan biaya yang diperlukan untuk mengikuti layanan-layanan dari lembaga itu pun tidaklah kecil.

Jadi, tak dapat dipungkiri pengadaan Unas telah menjadi bisnis yang sangat menguntungkan lembaga-lembaga bimbingan belajar. Namun, bila pemerintah mau menerapkan sistem pendidikan untuk semua golongan dan daerah di nusantara ini, maka peraturan dan pelaksanaan Unas perlu ditinjau ulang. Unas semestinya menjadi sebuah alat uji yang representatif atas segenap agenda dan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru berbekal KTSP sepanjang tahun.

Ada kabar yang beredar bahwa Komisi X DPR yang turut membidangi pendidikan akan membuat suatu rumusan Unas yang tidak menimbulkan polemik. Namun rumusan ini kabarnya baru akan ditindaklanjuti tahun depan. Tindakan yang lamban ini sangat disayangkan. Akhirnya, karena Unas telah diputuskan tetap diadakan, kiranya para guru dan siswa di sekolah-sekolah tidak putus asa sebelum bertanding. Mari kita hadapi dengan ketabahan dan perjuangan yang disertai doa.

***

Sidoarjo, 28-29 Januari 2010

Sidik Nugroho
Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

No comments:

Post a Comment