8.12.11

Pindah ke Penulis Gembira

Mulai bulan Desember 2011, catatan dan aktivitas blogging saya lainnya saya pindah ke:

Penulis Gembira

8.9.11

Bandit: Sebuah Perlawanan Rakyat Jelata

Dimuat di Majalah Bhinneka, edisi 7 Juli 2011

Judul Buku: Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942 | Penulis: Suhartono W. Pranoto | Penerbit: Graha Ilmu | Cetakan: Pertama, 2010 | Tebal: 208 halaman

Sejarah perjuangan suatu bangsa tak pernah lepas dari peran berbagai lapisan masyarakat, walau pada kenyataannya hanya beberapa gelintir nama besar saja yang diabadikan sebagai pahlawan dan dikenang dalam rentang waktu yang panjang. Kiprah para bandit -- orang-orang yang identik dengan julukan "preman" di masa kini -- yang tak identik dengan gelar pahlawan, di buku ini ditelisik dengan cukup mendalam. Penulisnya, Suhartono, memulai bahasan tentang bandit ini dengan memberikan pemaparan yang cukup panjang atas kondisi sosial-ekonomi-agraris masyarakat Jawa pada saat itu.

Hal ini dimulai saat kapitalisme mulai mewabah di negara-negara Eropa. Dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari negeri-negeri jajahan, mereka mengubah jenis tanaman yang ditanam. Commercial corps seperti indigo, kopi, tebu, dan tembakau digalakkan -- menggantikan traditional corps seperti padi dan palawija -- karena tanaman-tanaman demikianlah yang laris di perdagangan internasional.

Salah satu sebab diambilnya langkah itu karena Belanda tengah mengalami kemerosotan keuangan akibat tekanan yang ditimbulkan oleh perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Hal ini membuat pemerintah kolonial mengadakan Sistem Tanam Paksa mulai 1830. Selama empat puluh tahun berikutnya, hingga 1870, sistem nonbudget ini -- yang sama sekali tidak menganggarkan dana, hanya mengeksploitasi tenaga petani -- mendatangkan keuntungan sebesar 800 juta gulden untuk Belanda.

Sistem Liberal (1870-1900) dan Sistem Politik Etis (1900-1942) yang kemudian diberlakukan sebagai sistem-sistem pengganti Tanam Paksa juga tidak banyak membawa perubahan bagi kesejahteraan petani. Eksploitasi tenaga petani lewat kerja rodi dan cara-cara penguasaan lahan yang ditetapkan pemerintah kolonial tetap saja meresahkan rakyat. Akibatnya, perlawanan demi perlawanan dalam berbagai bentuk terus bergejolak.

***

Studi historis perbanditan di kalangan petani yang dibuat oleh Suhartono ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh seorang tokoh yang sangat concern menelaah perbanditan. Ia adalah E.J. Hobsbawm, seorang sejarawan Inggris, yang telah melahirkan karya-karya Primitive Rebels (1959), Bandit (1972), dan Social Banditry (1974). Di Indonesia juga ada Sartono Kartodirdjo yang melahirkan karya fenomenal Pemberontakan Petani Banten 1888.

Bahasan dominan dalam buku Suhartono mengarah pada kondisi sosial-ekonomi-agraris masyarakat di Jawa pada saat itu. Ia menguraikan panjang-lebar perkembangan status dan peralihan kepemilikan sebuah tanah sebelum dan sesudah kedatangan pemerintah kolonial di tanah air pada tiga bab awal buku ini. Suhartono juga menguraikan beberapa istilah yang digunakan dalam kepemilikan tanah; salah satunya adalah apanage, istilah di masa lalu yang mirip dengan bengkok di masa kini, tanah yang dihibahkan kepada seorang kepala desa.

Satu hal lain yang menarik di sini adalah julukan yang kerap diberikan ke kepala desa saat itu, yaitu uler endhas loro, atau ular kepala dua. Saat itu kedudukan kepala desa sangat sulit, harus bisa menjadi mediator di antara petani dan pemerintah kolonial. Oleh karena itu mereka harus pintar membawa diri agar bebas dari tuduhan bersekongkol dengan pihak bandit maupun pemerintah kolonial.

Tekanan yang diberikan pemerintah kolonial akibat penerapan sistem pertanian yang menyengsarakan rakyat itu pada akhirnya melahirkan bandit-bandit pemberontak. Beberapa nama bandit yang disebut dalam buku ini yaitu Saniin Gede dari Banten, Jodongso dari Surakarta, dan Singabarong dari Sragen. Bahkan ada bandit yang dianggap suci dan memiliki kekuatan supranatural, salah satunya dikenal dengan nama Mas Jakaria. Mas Jakaria pernah menyatakan bahwa roh bapak dan leluhurnya yang sudah mati -- bapaknya dan kakeknya dulu juga bandit -- membantu perlawanan para bandit terhadap pemerintah kolonial.

Dari sinilah dapat dilihat bahwa walaupun para bandit ini sepertinya tak memiliki pengaruh besar dan dikenang sekian lama, kehadiran mereka amat heroik dan bahkan mengundang tindakan kultus-individu.

***

Secara keseluruhan buku ini menarik untuk diikuti karena di dalamnya dikisahkan perlawanan wong cilik atau rakyat jelata yang kerapkali luput dari perhatian di masa kini. Hanya saja, buku ini perlu banyak perombakan dari segi tata-bahasa. Sebagai buku yang dikembangkan dari sebuah desertasi, masih banyak kata dan kalimat yang terkesan akademis. Selain itu, beberapa kesalahan cetak juga masih terjadi di sana-sini.

Dalam lima bab buku ini, hanya dua bab akhir (bab keempat dan kelima) yang benar-benar menguraikan peran dan kiprah bandit yang menggelar perlawanan bagi pemerintah Belanda. Para bandit ini beraksi di berbagai wilayah Jawa dengan melakukan pembakaran lahan pertanian, pencurian hewan, atau perampokan hasil pertanian.

Selain lahan pertanian atau ternak, para bandit ini juga menyasarkan serangan dan pengacauan pada gedung dan bangunan seperti saluran irigasi, gudang atau barak milik pemerintah kolonial. Mereka lebih sering beraksi pada malam hari. Para bandit ini juga kerap menyerang orang-orang yang berkaitan dengan penerapan sistem eksploitasi tanah yang menyengsarakan rakyat. Mereka tak jarang menyerang tuan tanah, penyewa tanah, rentenir, petinggi, dan para petani serta pedagang kaya.

Perlawanan para bandit di masa lalu tak terorganisasi dengan baik, kerap muncul sebagai "letupan kecil": sesaat ada dan kemudian lenyap. Namun, di kemudian hari, peran mereka turut menyulut lahirnya beberapa (bentuk) perlawanan lain yang lebih terorganisir, mapan, dan koordinatif, hingga bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya. (*)

Sidik Nugroho

Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, kini mengajar sebagai guru di SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo

10.1.11

Ucapan Selamat Natal: Tolok Ukur Toleransi Beragama?

Sebuah refleksi pribadi tentang Natal dan hubungan sosial

Yesus Kristus, atau yang disebut juga Nabi Isa, tidak pernah dicatat dalam sejarah lahir tanggal 25 Desember. Ia bahkan tidak pernah bersabda agar umat-Nya merayakan hari kelahiran-Nya. Namun, dari tahun ke tahun, Natal terus dirayakan umat Nasrani. Natal sudah menjadi tradisi untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai Juruselamat bagi orang yang menerima-Nya.

Kali ini saya hendak menuangkan dengan jujur apa yang saya alami selama beberapa tahun belakangan, utamanya berkaitan dengan ucapan selamat Natal yang dari tahun ke tahun semakin sedikit saya terima dari teman dan sahabat saya yang Muslim.

Saya sangat berharap, bagi Anda yang ingin mengetahui pengalaman saya ini, menyimaknya sampai akhir. Saya tidak membahas tentang hal-hal yang bersifat teologis dan historis, atau sebutlah semacam studi perbandingan agama, namun sekedar menuangkan pengalaman saya dan berharap ada timbal-balik yang konstruktif dari pembaca untuk kelanggengan hubungan sosial; serta keharmonisan dalam kebhinekaan dan keberagamaan di negeri Pancasila ini.

| | |

Bagi sebagian orang Muslim, mengucapkan selamat Natal adalah haram. Mereka menyusun ajaran ini dengan ditopang berbagai landasan pemikiran yang menyertakan aspek historis dan teologis. Hal yang paling mendasar adalah yang saya sebutkan di atas tadi: Yesus Kristus tidak pernah lahir tanggal 25 Desember.

Di sinilah umat Nasrani perlu memahami duduk persoalannya. Saya pernah mendengar ada orang Nasrani yang menganggap orang Muslim berhaluan garis keras hanya gara-gara tidak mengucapkan selamat Natal. Kalau begini sudah kelewatan.

Sepanjang empat tahun terakhir, saya tak pernah luput mengirimi ucapan selamat Idul Fitri disertai mohon maaf lahir dan batin kepada teman dan sahabat saya yang Muslim lewat pesan pendek. Jumlah teman yang saya beri ucapan mencapai angka seratus lebih. Namun, pada saat Natal, ucapan selamat yang saya terima semakin sedikit dari tahun ke tahun. Tahun lalu, 2010, teman Muslim saya yang memberikan ucapan selamat Natal lewat pesan pendek bisa dihitung dengan jari kiri dan kanan tangan.

| | |

Menanggapi masalah ini, beberapa teman Nasrani ada yang langsung membuat pernyataan kalau orang Muslim semakin tidak toleran. Saya bukan orang yang suka berpikir positif atas apa yang tampaknya negatif. Saya cukup resah dengan ajaran "berpikir positif" yang kerap dijadikan pengalihan untuk menelusuri sebuah persoalan yang sebenarnya bisa ditelisik lebih jauh secara objektif dan terbuka. Ada juga yang menyatakan sambil lalu, "Ah, mungkin mereka lupa." Pernyataan-pernyataan demikian saya yakin tidak menyentuh ke inti persoalan. Persoalannya bukan tidak toleran atau lupa, atau alasan lain yang dikarang-karang untuk menunjukkan bahwa segalanya memang sedang baik-baik saja.

Persoalan yang hendak saya ketengahkan adalah: Bila memang orang-orang Muslim itu tidak mau memberikan ucapan selamat Natal, apakah ketidakmauan itu didasari pula -- selain landasan historis dan teologis -- dengan kebencian? Inilah yang saya kuatirkan. Saya kuatir makin banyak muncul orang Muslim yang hatinya dilandasi kebencian antipati terhadap orang Nasrani.

Dalam tahap yang parah kita sudah melihat adanya gereja yang diteror, atau penganiayaan-penganiayaan terhadap orang Nasrani di negeri ini. Para peneror dan penganiaya adalah orang-orang Muslim garis keras -- atau mereka yang berkedok sebagai orang Muslim -- yang dulunya pasti juga menerima ajaran yang dilandasi pula dengan kebencian terhadap orang Nasrani.

Saya bersyukur memiliki teman-teman Muslim yang baik. Di akhir tahun lalu, 2010, saya duduk semeja dengan beberapa teman yang semuanya Muslim dan semuanya tidak mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya tidak gelisah dan canggung sedikit pun. Saya menghabiskan waktu hingga subuh, tertawa riang dan berbagi cerita bersama mereka. Orang-orang Muslim seperti ini banyak saya jumpai di kehidupan saya -- orang-orang yang paham benar apa itu ajaran: "Agamamu agamamu, agamaku agamaku." Sementara para teroris, penganiaya, dan pembenci orang Nasrani, hanya memaksakan ajaran agama mereka disertai kebencian untuk menyatakan: "Agamaku lebih baik daripada agamamu."

| | |

Masih banyak persoalan toleransi antar umat beragama yang perlu disikapi dengan lebih bijaksana dan hati-hati. Toleransi, sejatinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Dan sekali lagi saya bersyukur untuk beberapa hal. Pertama, saya memiliki keluarga besar yang plural -- kakak-adik dari pihak ayah saya sampai sepuluh orang dan terbagi menjadi tiga penganut agama: Kristen, Katolik, dan Islam.

Lalu, saya bersyukur dapat bekerja di sekolah di mana multikulturalisme dan perbedaan agama menjadi salah satu prioritas pengembang sekolah untuk dihargai. Di sekolah saya ada seorang murid saja yang beragama Buddha; dan untuk satu orang siswa itu disediakan guru agama. Di sekolah ini juga saya memiliki rekan kerja dan sahabat-sahabat Muslim yang berbagi suka dan duka selama hampir empat tahun saya ada di sana.

Keluarga, teman-teman, dan rekan kerja yang Muslim ini, pada akhirnya membantu saya untuk melihat bahwa toleransi lebih terasah dalam keseharian, bukan dalam hari-hari besar agama. Kini, saya beranggapan, ucapan selamat Natal diberikan atau tidak, tidak jadi soal. Selama kita dapat hidup berdampingan dengan saling mengasihi, tanpa ada kebencian, saya yakin, di situ toleransi dapat dinyatakan. ***

Malang-Sidoarjo, awal tahun 2011

3.1.11

Guru, Penulis, dan Bapak Bangsa yang Visioner

“Lindungi bendera itu dengan bangkaimu, nyawamu dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”

~ Tan Malaka, Massa Actie

Sebuah bangsa memang tak pernah lahir dari pemikiran dan hasil kerja keras satu orang. Tangan-tangan yang menenun sebuah bangsa dapat diibaratkan dengan warna-warni pelangi. Begitu pula dengan Indonesia. Bila kita berupaya melacak jejak para pendiri bangsa ini, Soekarno dan Hatta akan menjadi dua sosok utama. Namun, beberapa sosok lain yang penting, kerap terpinggirkan, terlupakan.

Salah satunya adalah Tan Malaka, yang di masa Orde Baru identik dengan komunis. Dan (kita) semua yang pernah hidup di masa itu tahu, bahwa segala sesuatu yang berbau dengan komunis dan PKI adalah “haram” untuk ditelusuri dan dipelajari, apalagi “dikonsumsi” sebagai wacana khalayak pada umumnya.

Padahal, Tan Malaka, yang lahir pada tahun 1897, adalah seorang yang di masa kecilnya mewarisi tradisi Minang: rajin sembahyang, tidur di masjid, dan hapal Qur’an. Nama lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka. Walaupun badung dan kerap bertingkah nekat, ia cerdas dan energik. Pada tahun 1913, ia berangkat ke Belanda untuk menjadi seorang guru dengan bantuan seorang guru Belanda bernama G.H. Horensma.

Namun, selama 6 tahun di Belanda, orientasinya bercabang-cabang. Ia mulai tertarik dengan politik. Ia juga suka olahraga dan musik. Ia tidak menyelesaikan sekolah guru di Haarlem, Belanda, mengaku susah untuk mendapatkan izin mengajar. Begitu pulang ke Indonesia pada tahun 1919, ia bertekad mengubah kondisi bangsa Indonesia yang terjajah.

Tan Malaka dan Komunisme

Salah satu hal yang membuat Tan Malaka dinilai berhaluan kiri karena perannya yang cukup besar dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia pengagum berat ajaran-ajaran Marx dan Lenin. Tahun 1921 ia menjadi ketua PKI — menggantikan ketua PKI saat itu, Semaun, yang sedang berada di Moskow.

Namun, pada perkembangan selanjutnya, Tan agak berseberangan dengan beberapa tokoh komunis dalam negeri seperti Semaun, Alimin, Darsono, dan Musso. Hal ini bermula pada rapat PKI tanggal 25 Desember 1925 di Prambanan, Semarang, yang memutuskan mengadakan pemberontakan terhadap Belanda. Tan menilai PKI tidak siap melakukan hal itu. Ia meramalkan banyak kegagalan yang bakal dituai PKI dalam aksi itu. Ia bahkan menulis sebuah buku Massa Actie (Aksi Massa) untuk dijadikan bahan pembelajaran bersama sebelum sebuah aksi pemberontakan digelar. Buku Massa Actie yang ditulisnya di Singapura tidak sampai sasaran; belakangan malah dijadikan para nasionalis sebagai bahan pembelajaran melawan imperialisme.

PKI tetap melakukan aksi pemberontakan terhadap Belanda dengan melakukan pemogokan diikuti sabotase dan perlawanan bersenjata di beberapa daerah di Jawa dan Sumatera pada 12 November 1926 sampai 12 Januari 1927. Target pemberontakan mereka banyak yang gagal. Banyak pemimpin PKI yang ditangkap dan dibuang. Namun Tan tetap menjadi anggota Komintern (Komunis Internasional) yang menjadi pengawas untuk Indonesia, Malaya, Filipina, Thailand, Burma, dan Vietnam. Dengan beberapa kawan ia mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok pada bulan Juni 1927.

Ignas Kleden, sosiolog, menyebutnya “… Marxis tulen dalam pemikiran, tapi nasionalis yang tuntas dalam semua tindakannya.” Salah satu pandangan Tan tentang agama ada dalam baris-baris kalimat berikut, yang diucapkannya saat berpidato di kongres Komunis Internasional tahun 1922 di Rusia:

“Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim — ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan — ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”

Tan Malaka, Karya-karyanya, dan Dunia Pendidikan

Tan Malaka adalah seorang yang suka mengungkapkan isi pikirannya dengan tulisan. Salah satu buah pikirnya yang terkenal, Madilog (Materialisme Dialektika Logika), ditulis di Rawajati, di sebuah gubuk bambu berukuran 15 meter persegi. Tan menulisnya dari pukul 6 pagi sampai 12 siang; dari 15 Juli 1942 sampai dengan 30 Maret 1943. Ia sering mencari rujukan di Museum Nasional yang ditempuh 4 jam kalau berjalan kaki.

Madilog adalah buku filsafat yang dibuat Tan Malaka untuk mengajak pembacanya merenungkan berbagai hal dalam kehidupan. Ia melandaskan pemaparannya pada teori-teori filsafat yang telah dikembangkan oleh para filsuf Barat. Buku Tan yang lain, Naar de Republiek Indonesie (Menuju Republik Indonesia), menjadi bacaan yang sangat diminati oleh para pemuda dan aktivis pergerakan di Indonesia. Edisi pertama buku ini ditulis Tan di Kanton, April 1925, dan tidak jelas berapa eksemplar yang tersebar. Tan mencetak lagi buku itu saat berada di Filipina pada bulan Desember 1925. Cetakan kedua ini menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.

Salah satu bagian yang penting yang ditulisnya dalam buku ini adalah perlawanan yang kuat terhadap imperialisme, kolonialisme, dan kapitalisme — hal-hal yang ditentang pula oleh paham komunis. Ia menulis:

“Jika kita bayangkan kapitalisme sebagai satu gedung dan negeri-negeri di dunia adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka Indonesia merupakan salah satu dari tiang-tiang itu. Kita mengetahui sebelumnya bahwa cepat atau lambat gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya. Akan tetapi wujud dan luas runtuhannya serta cara bagaimana runtuhnya, hanya praktek yang akan menentukan.”

Salah satu minat dan perhatian Tan Malaka lainnya adalah pendidikan. Di dalam karyanya Naar de Republiek Indonesie ia menulis, “Berat rasanya melaksanakan pekerjaan pendidikan di bawah kekuasaan yang tak segan-segan berdusta, memperkosa undang-undang yang dibikin sendiri, menginjak-injak hak-hak rakyat.”

Ia ingin anak-anak Indonesia melek aksara, lancar berhitung, dan kaya pengetahuan. Ini tak lain karena ia dibesarkan dari keluarga yang hidup pas-pasan. “Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting,” tulisnya dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara.

Kesempatan itu akhirnya datang saat ia berada di Semarang. Dengan dukungan dana dan beberapa teman di Sarekat Islam (SI) ia mendirikan sekolah rakyat. Hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan dan pengajaran di sekolah ini ia tuangkan dalam buku SI Semarang dan Onderwijs. Di kemudian hari, pendidikan model Tan Malaka ini terus berkembang di berbagai kota di Indonesia.

Tiga tujuan atau dasar pengembangan pendidikan dan kerakyatan yang dirumuskannya dalam buku itu sebagai berikut:

1. Pendidikan keterampilan/Ilmu Pengetahuan, seperti: berhitung, menulis, ilmu bumi, bahasa dsb. Sebagai bekal dalam penghidupan nanti dalam masyarakat kemodalan.

2. Pendidikan bergaul/berorganisasi serta berdemokrasi untuk mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga diri dan cinta kepada rakyat miskin.

3. Pendidikan untuk selalu berorientasi ke bawah.

Tan Malaka adalah sosok yang berusaha melihat segala sesuatu sedekat mungkin. Itulah salah satu yang memantik niatnya menuliskan sesuatu. Saat berada di Bayah, ia mengamati kehidupan romusha yang penuh kesengsaraan. Tak jarang ia berbagi makanan dengan para romusha. Saat itu ia bekerja sebagai seorang kerani di Kantor Sosial. Para romusha, budak-budak Jepang itu, sehari cuma digaji 40 sen dan seperempat kilo beras.

Tan mencatat 400-500 romusha meninggal tiap bulan. Luas pemakaman mereka hingga akhir pendudukan Jepang mencapai 38 hektar. Kenyataan hidup yang pahit ini tak membuatnya tinggal diam. Dicatatnya kehidupan romusha itu, lalu dibuatnya sebuah buku bertajuk Rencana Ekonomi Berjuang.

Bapak Bangsa yang Radikal

Selama 20 tahun lebih Tan Malaka hidup sebagai penyamar dan hidup berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Ia menyamar dengan berbagai nama. Ia menyamar karena menghindari kejaran polisi rahasia Inggris, Amerika, dan Belanda yang sangat membenci ajaran komunisme. Ia pernah mendapat suaka di Filipina. Ia menyebut Filipina sebagai tanah air keduanya. Oleh beberapa rakyat Filipina ia disandingkan dengan pahlawan legendaris Filipina Jose Rizal.

Setelah kembali lagi ke Indonesia pada tahun 1942, Tan kembali memikirkan cara-cara meraih kemerdekaan Indonesia. Saat ini ada Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dan Tan Malaka. Tiga-tiganya berasal dari Minang. Namun, tiga orang ini memiliki pandangan yang berbeda soal perjuangan. Setelah Indonesia merdeka, Hatta menjadi wakil presiden, Sjahrir menjadi perdana menteri.

Ketika Indonesia sedang dalam pergulatan menghadapi agresi militer Belanda, Soekarno dan Hatta berusaha menempuh cara-cara diplomatis melalui meja-meja perundingan. Tan Malaka tak menyetujui cara-cara itu: Indonesia harus merdeka 100 persen; meja-meja perundingan hanya akan membuat kemerdekaan tak sepenuhnya diraih rakyat Indonesia. Ia lalu menemukan sosok yang senada-juang dengannya, Jendral Soedirman, seorang mantan guru juga. Jendral Soedirman, sama radikalnya dengan Tan Malaka, menyatakan: “Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100 persen.”

Kematian Tan Malaka: Sebuah Misteri

Suatu waktu Bung Karno diperingatkan oleh Tan Malaka agar berhati-hati terhadap Belanda. Tan Malaka menyatakan kalau pusat pemerintahan perlu dipindah ke pedalaman dan pemimpin negara perlu diungsikan. Bung Karno akhirnya mengeluarkan testamen politik, “… jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.” Hatta tak menyetujui pilihan Soekarno untuk melimpahkan kekuasaan pada satu orang saja. Ia pun menambahkan tiga nama lain, yaitu Sjahrir, Iwa Koesoema Soemantri, dan Wongsonegoro, agar mewakili semua kelompok.

Bersama Soedirman, Tan Malaka bergerilya melancarkan serangan-serangan terhadap Belanda. Mereka tidak berada dalam satu kesatuan, namun sevisi-semisi. Namun, apa yang dilakukannya kemudian menjadi ancaman bagi dirinya sendiri.

Saat Soekarno ditawan Belanda pada 19 Desember 1948, Tan Malaka bersama Mayor Sabarudin mendirikan Rakyat Murba Terpendam dan mulai menyebarkan pamflet dan berpidato, menyatakan dirinya sebagai pemimpin revolusi Indonesia (sesuai testamen yang diberikan Soekarno kepadanya) sambil bergerilya bersama 50 orang pengawal bawaan Mayor Sabarudin.

Saat bergerilya bersama Sabarudin, Tan mengkritik tentara divisi Jawa Timur pimpinan Kolonel Soengkono yang dianggapnya pengecut. Mendengar kritik itu, Soengkono memerintahkan anak buahnya, Soerahmad, agar mengawasi Tan Malaka yang baginya “… membahayakan perjuangan Republik Indonesia.”

Saat Soerahmad dan pasukannya menghampiri markas pasukan Tan Malaka, tak diduga tentara Belanda datang juga menyergap pasukan Tan Malaka di Kediri. Pasukan Tan Malaka kocar-kacir. Bersama 6 pengawal, ia melarikan diri sejauh 60 kilometer ke arah selatan dan kemudian melewati daerah Selopanggung, Kediri, yang dikuasai Batalion Sikatan. Enam pengawal Tan kocar-kacir, tiga di antara mereka tertembak.

Di sinilah Tan kemudian bertemu dengan Soekotjo, pihak yang selama ini diduga kuat menembak Tan Malaka. Tragis, seorang pria yang telah berjuang demi negaranya, bahkan memikirkan nasib dan masa depan bangsanya saat berada di negeri-negeri lain, tewas ditembak mati di sebuah desa kecil di negerinya sendiri.

Bung Hatta memecat Kolonel Soengkono sebagai pimpinan tentara divisi Jawa Timur setelah mendengar kabar kematian Tan Malaka. Beberapa tahun kemudian Soekarno menganugerahi Tan Malaka gelar pahlawan. Tan Malaka hingga kini masih dikenang, terutama lewat karya-karyanya. Walaupun namanya tak dicatat dalam buku-buku pelajaran Sejarah di tanah air, perannya dalam perjuangan mewujudkan kemerdekaan Indonesia tak bisa dilupakan. (*)

Sumber-sumber tulisan:

Arif Zulkifli (editor), dkk. 2010. Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan. Jakarta: KPG dan Tempo

Tan Malaka. 1925. Naar de ‘Republiek Indonesia’. Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1924-Menuju.htm

Tan Malaka. 1921. SI Semarang dan Onderwijs. Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1921-SISemarang.htm

Tan Malaka. 1922. Komunisme dan Pan-Islamisme (Catatan-rekaman pidato Tan Malaka di kongres Komintern, Rusia). Versi online di: http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm

Singkawang-Pontianak, awal Januari 2011

30.12.10

Acuan Penting Bagi Studi Sastra

Judul Buku: Beginning Theory -- Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya
Penulis: Peter Barry
Penerjemah: Harviyah Widyawati dan Evi Setyarini
Penerbit: Jalasutra
Cetakan pertama, April 2010

Pada awalnya adalah imajinasi -- atau inspirasi. Bisa juga ide dan gagasan-gagasan cemerlang. Kemudian ditambah dengan pembacaan atas situasi yang terjadi pada masyarakat, atau upaya mengekalkan sebuah peristiwa yang diperkirakan akan selalu dikenang, sebuah karya sastra pun lahirlah. Kelahirannya disambut dengan berbagai reaksi dari sidang pembaca. Ada pembaca yang hanya mampu memberi kesan; ada yang memuji-muji setinggi langit; ada juga yang menganggapnya sampah.

Studi sastra pada hakikatnya muncul atas berbagai reaksi ini. Para kritikus sastra muncul karena tak puas bila hanya memberikan pujian samar atas suatu karya sastra yang apik dengan kesan-kesan yang subyektif; atau mencaci-maki sebuah karya sastra yang dinilai norak dan tak bermutu. Perlu ada telaah yang memadai, yang menjawab beberapa pertanyaan seperti: apa keunggulan karya sastra tertentu, mengapa sebuah karya dianggap penting, atau bagaimana sebuah karya sastra berupaya menangkap dan merepresentasi realitas zaman ketika ia diciptakan.

Adalah Aristoteles, yang mungkin saja menjadi tokoh pertama dalam memulai kegiatan membuat studi sastra. Karyanya yang berjudul Poetics berisi uraian Aristoteles atas berbagai sifat sastra. Ia menganggap bahwa tokoh di dalam sebuah karya memiliki kedudukan yang amat vital. Ia mengedepankan istilah katarsis yang menjadi acuan dalam memahami sebuah cerita: perpaduan simpati bagi dan empati terhadap tokoh utama yang ada pada sebuah kisah atau tragedi.

Selanjutnya, tokoh yang memiliki minat dalam mengembangkan telaah tentang sastra adalah Sir Philip Sidney yang menulis buku Apology for Poetry sekitar tahun 1580. Dalam buku ini ia mengembangkan gagasan tentang misi sastra yang pernah dicetuskan oleh penyair Latin Ovid yaitu docere delictendo: sastra ditulis dengan tujuan untuk mengajar dengan cara menghibur.

Studi sastra terus berkembang dengan pemikiran para humanis liberal di abad ke-20. Di masa ini banyak tokoh yang berupaya membahas dan menakar berbagai aspek sastra yang dianggap penting -- salah satunya Matthew Arnold. Arnold menerapkan standar yang ia sebut batu ujian bagi karya-karya sastra yang baru atau diproduksi di zamannya. Batu ujian yang dimaksud Arnold adalah karya-karya sastra klasik yang dipelajari lintas-generasi: karya-karya sastra yang gaungnya dianggap tak lekang oleh perubahan zaman.

Semua upaya studi sastra pada akhirnya membuat para kritikus sastra mengusung dan mengejawantahkan beberapa teori sosial-budaya yang berkembang. Hal ini dilakukan karena sastra tak hanya memuat representasi yang melulu bersifat linguistis terhadap berbagai realitas dan peristiwa sosial. Sastra seringkali lahir karena berbagai gejolak dan persoalan yang ada di suatu masyarakat -- walau dalam taraf tertentu memuat kadar estetika yang lahir dari kecenderungan pribadi penciptanya. Dengan demikian, maka teori-teori yang dipergunakan untuk mengkaji soal-soal dalam masyarakat menjadi relevan bila dipergunakan dalam sastra.

Seorang linguis Swiss, Ferdinand de Saussure, mengembangkan strukturalisme yang awalnya diperkenalkan oleh Claude Lévi-Strauss dan Roland Barthes. Para strukturalis menganggap bahwa bahasa membentuk dunia: cara seseorang melihat dunia adalah apa yang dilihatnya. Para strukturalis cenderung memfokuskan kajian mereka dengan menemukan pola dan kesamaan yang ada pada suatu genre sastra tertentu.

Selanjutnya ada paham lain yang berkembang yaitu postrukturalisme. Uniknya, tokoh yang mengembangkan paham ini juga Roland Barthes sendiri, bersama Jacques Derrida. Beberapa kalangan menilai postrukturalisme merupakan pembangkangan terhadap strukturalisme karena kaum postrukturalis beranggapan kalau kaum strukturalis tidak memiliki standar yang pasti dalam mengukur apa pun. Berbeda dengan strukturalis yang cenderung menyajikan kritik yang netral dan anonim -- tipikal dengan tulisan ilmiah para akdemisi, kaum postrukturalis lebih emosional dan flamboyan dalam mendekati sebuah karya sastra.

Berbagai wacana yang ada pada paham-paham lainnya dibahas di buku ini. Paham-paham yang berangkat dari upaya menafsir realitas sosial-budaya itu menjadi panduan bagi studi sastra, seiring banyaknya dan beragamnya teks sastra yang dihasilkan para sastrawan. Ada bahasan seputar bagaimana sastra dikaji dan ditelaah lewat paham posmodernisme, psikoanalisis, feminisme, Marxisme, poskolonialisme, stilistika, materialisme kultural; bahkan kajian karya sastra yang memuat isu-isu gay dan lesbian.

Selain bahasannya yang terbilang utuh atas berbagai paham, hal lain yang menarik di buku ini adalah bagian berupa jeda dalam tiap bab yang oleh penulisnya diberi tajuk Berhenti dan Pikirkan. Lewat bagian ini para pembaca diajak untuk menelusuri lebih jauh eksplanasi suatu topik atau bahasan tertentu, atau kadangkala diajak untuk mengingat kembali sesuatu yang ada kaitannya dengan bahasan yang diketengahkan. Subjudul buku ini, Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya, memang sepadan bila para pembaca menyimak bab demi bab yang ditulis oleh Peter Barry, seorang dosen senior kajian bahasa Inggris di Universitas Wales di Aberystwyth.

Menjelang akhir tiap bab juga ada subjudul Yang Dilakukan Kritikus untuk menyimpulkan bahasan yang sudah diketengahkan di sekujur sebuah bab buku. Misalnya bab yang membahas tentang posmodernisme, maka di bagian akhirnya ada subjudul Yang Dilakukan Kritikus Posmodernisme. Setelah itu, ada beberapa bacaan pilihan yang memungkinkan para pembaca menelusuri lebih jauh bahasan yang berkaitan dengan suatu bab.

Buku ini patut dijadikan acuan bagi para peminat studi sastra. Di tanah air kita melihat teks-teks sastra semakin banyak diproduksi. Geliat perkembangan ini mestinya diimbangi dengan lahirnya para kritikus sastra yang bersedia menelaah muatan karya sastra menggunakan berbagai pendekatan dan teori sastra yang relevan. (*)

Sidik Nugroho, pembaca buku

5.5.10

Bencana, Wisata, dan Tindak Lanjutnya

Sidik Nugroho*)

Dalam kunjungannya beberapa waktu lalu ke Jawa timur dan sekitarnya, Presiden SBY menyatakan bahwa daerah di Porong yang terendam lumpur panas berpotensi untuk dijadikan wisata geologi. Bila melihat kronik peristiwa yang terus bergulir di Porong, sebenarnya, Presiden terlambat menyebut istilah "wisata" bagi bencana yang telah merendam sepuluh ribu rumah lebih juga belasan pabrik dan beberapa sekolah SD hingga SMA itu. Kata "wisata" sudah disebut-sebut warga di Porong dan Sidoarjo sejak lama untuk menggeser kata "bencana" yang dulu merebak bagai teror.

Solusi demi solusi digagas dalam mengubah image Porong yang mengerikan, salah satunya menjadi tempat wisata. Ya, istilah "wisata lumpur" sudah sangat terkenal di antara warga Porong dan Sidoarjo jauh sebelum SBY melakukan kunjungan sesaat di sana. Utamanya, orang-orang suka menikmati "kawah" yang terbentuk akibat semburan lumpur panas itu. "Kawah" itu kering pada saat musim kemarau. Bahkan, para pemuda setempat sering main sepakbola di "kawah" bekas semburan lumpur itu.

Kenangan pahit akan rumah-rumah yang terendam lumpur, demonstrasi-demonstrasi massa yang cukup intens, juga pengungsian demi pengungsian yang harus terjadi akibat bencana semburan lumpur perlahan-lahan pudar. Orang-orang dari segenap penjuru Indonesia, bahkan mancanegara, menikmati pemandangan yang indah di "kawah" akibat bencana ini.

Kini, setelah hampir empat tahun bencana itu terjadi, masih ada banyak tugas penting yang perlu diselesaikan oleh pemerintah dan pihak Lapindo. Utamanya, itu berkaitan dengan pembangunan tol yang dirasa makin mendesak mengingat kemacetan yang makin lama makin parah terjadi di jalan raya yang berada di dekat semburan lumpur panas itu.

Hingga bulan lalu masih tercatat banyak semburan gas liar yang berpotensi menimbulkan kebakaran. Semburan itu juga muncul di jalan raya yang dilintasi banyak kendaraan. Rel kereta api yang berada di sebelah timur jalan raya juga terlihat amblas di beberapa bagian, yang tentunya berpotensi mengundang kecelakaan. Hal yang cukup parah adalah kejadian di hari Minggu dan Senin (18 dan 19 April lalu), saat terjadi banjir yang cukup lama di jalan raya di sekitar lokasi semburan lumpur.

Banjir itu menggenang cukup tinggi; di beberapa bagian jalan malah mencapai sekitar tiga puluh sentimeter. Kemacetan yang terjadi terhitung parah. Penulis juga turut terjebak dalam kemacetan itu saat hari Minggu malam (18 April 2010). Dari arah selatan, kemacetan dimulai sejak pertigaan Gempol yang jalan belokan ke arah timurnya menuju ke gerbang tol yang sudah ditutup akibat semburan lumpur Lapindo. Di bagian utara, kemacetan berawal dari jalan yang berada di bawah jembatan tol yang diputus.

Pada bulan Mei tahun lalu, tepat ketika usia bencana lumpur ini tiga tahun, ribuan warga yang sebagian besar berasal dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) menggelar aksi demo ke Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di Surabaya. Demo mereka memuat penolakan atas pemotongan uang ganti rugi. Dan masalah penggantirugian hingga kini masih saja jadi kemelut panjang, belum selesai-selesai.

Relokasi tol

Pada saat itu Pemprov Jatim tak berpangku tangan menanggapi demo yang terus bergulir. Bukan hanya menggagas soal ganti rugi, pada bulan Juni tahun lalu Pemprov sudah menggagas pembangunan jalan tol pengganti (relokasi tol) yang terputus akibat semburan lumpur. Waktu itu direncanakan kalau jalan tol baru itu dimulai pada tengah tahun 2010. Relokasi tol memang mendesak mengingat salah satu hambatan terbesar di jalur Surabaya-Malang atau ke dari Surabaya ke kota lainnya di bagian selatan adalah kemacetan di sekitar Pasar Porong. Kemacetan yang parah terutama terjadi hampir di tiap akhir minggu (hari Jumat sore sampai Minggu malam).

Sebagai langkah awal sebelum realisasi relokasi tol, bagian jalan raya yang melintasi desa Siring ke utara sudah dibangun sedemikian lebar dalam dua ruas (satu ruas bisa dilewati tiga mobil pada ruas jalan utara menuju selatan). Tetapi tetap saja kemacetan di Pasar Porong terjadi -- karena lebar jalan makin ke selatan makin kecil.

Sayangnya, hingga kini, relokasi tol belum dapat terwujud. Masalah utamanya adalah pembebasan lahan yang akan dijadikan tol. Sejauh ini sulit menemukan kesesuaian harga antara yang ditawarkan pemerintah dengan yang diajukan warga. Kebanyakan, warga mengajukan harga yang lebih tinggi daripada yang ditawarkan pemerintah.

Pihak yang berada di ujung tombak masalah pembebasan lahan ini, yakni Panita Pembebasan Tanah (P2T), perlu bekerja ekstra keras melakukan dialog dan mencari solusi karena pihak Jasa Marga pernah menyatakan kalau pembangunan tol baru itu sendiri tak memakan waktu cukup lama, sekitar setahun. Jasa Marga bahkan sudah siap manakala suatu waktu diminta membangun tol baru. Sejauh ini sudah 70 persen lebih lahan yang sudah dibebaskan, dan pihak Jasa Marga baru bisa memulai pembangunan bila 100 persen lahan sudah dibebaskan. Perlu ada upaya berupa diskusi yang intens dan saling memahami antara pemerintah, Lapindo, Jasa Marga, BPLS, P2T, dan warga mengingat kerugian materi yang timbul akibat kemacetan di Porong makin tinggi dari hari ke hari.

Sah-sah saja bila lokasi semburan lumpur itu dicanangkan sebagai tujuan wisata yang lebih besar nantinya. Namun, itu bukanlah hal yang penting dan mendesak sebagai tindak lanjut penanganan bencana lumpur panas yang terus menyembur untuk saat-saat ini. Melihat kompleksitas persoalan yang terjadi akibat bencana lumpur panas ini, sudah saatnya pemerintah dan pihak-pihak terkait memberikan pemikiran yang konstruktif dan bukan mengambang atas bencana yang terjadi di Porong. Karena kejadiannya yang sudah menahun, pihak-pihak yang semestinya menuntaskan masalah ini bisa jadi perlahan-lahan mengabaikannya.***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pemerhati masalah sosial

2.4.10

Zakheus, Gayus, dan Refleksi Paskah

Sidik Nugroho*)

Dalam The Merchant of Venice yang ditulis pada akhir abad ke-16 dikisahkan seorang Yahudi bernama Shylock yang memberi pinjaman uang kepada Antonio. Di kemudian hari, Antonio tak mampu membayar pinjamannya, apalagi dengan bunga yang begitu tinggi. Sebagai gantinya, satu pon tubuh Antonio ia minta sebagai gantinya.

Shakespeare membuat kisah ini dengan mengetengahkan realitas penting tentang karakter orang Yahudi yang terkenal tamak dan serakah. Dan keserakahan ini nyata dalam catatan sejarah yang lebih lampau, yang tertuang dalam kitab suci tentang seorang tokoh bernama Zakheus.

Zakheus

Zakheus disebutkan di Alkitab sebagai seorang kepala pemungut cukai, atau kepala pajak. Pada saat Zakheus berkuasa, Yesus tengah mewartakan Injil, mengajak semua orang berbalik dari dosa-dosa mereka. Zakheus yang berbadan pendek suatu ketika takjub dengan orang-orang yang sangat antusias mendengarkan pengajaran Yesus. Ia pun naik ke atas pohon, ingin melihat rupa Guru Agung itu.

Tak dinyana oleh Zakheus, Yesus yang tengah naik daun itu menyatakan akan mampir ke rumahnya. Ia pun bergegas turun; dengan sukacita berlimpah-limpah menyambut kedatangan Yesus.

Tindakan Yesus terhadap Zakheus saat itu tergolong radikal. Pada masa itu, orang-orang yang berprofesi sebagai pemungut cukai sangat dibenci orang-orang Yahudi lainnya. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan penguasa Romawi yang saat itu menjajah bangsa Yahudi.

Namun tindakan radikal itu berbuah sukacita besar. Di rumahnya Zakheus menyatakan diri bertobat. Sebagai bukti pertobatannya, Zakheus menyatakan akan melepas separuh kekayaannya untuk disumbangkan bagi orang-orang miskin. Bahkan dia juga menyatakan, seandainya ada harta-kekayaan yang didapatnya dengan cara memeras orang lain akan dikembalikannya empat kali lipat.

Gayus

Sejak zaman dulu, bahkan tampaknya sebelum zaman Yesus dan Zakheus, urusan yang berkaitan dengan pajak kerapkali menimbulkan persoalan tipu-menipu dan peras-memeras. Gayus Halomoan P. Tambunan, baru-baru ini menjadi perbincangan banyak kalangan karena kasus korupsi sebanyak 25 miliar rupiah yang dilakukannya.

Keseluruhan gaji yang diterima Gayus terakhir 12,1 juta rupiah sebulan. Ini ia dapatkan dengan masa kerja 5 tahun. Bila dikalkulasi, gaji yang ia terima sejak pertama kali bekerja -- tanpa penelusuran atas jumlah yang diterimanya pada tahun-tahun awal -- paling banyak sebesar 700 juta rupiah lebih. Itu pun kalau gaji itu sama sekali tak diutak-atik.

Kasus Gayus dapat terjadi karena ia seorang yang menjabat sebagai Petugas Penelaah Keberatan dan Banding Ditjen Pajak. Gayus memiliki tugas melayani keluhan wajib pajak yang keberatan dengan penghitungan petugas pajak. Bila keluhan tak bisa diterima si wajib pajak, ia akan menaikkan persoalan itu ke Badan Pengadilan Pajak. Karena hal ini, Gayus memiliki akses berkomunikasi dengan hakim di Pengadilan Pajak.

Mengingat kedudukannya yang masih berada pada tingkat di bawah hakim pajak, Gayus tentunya tak bekerja sendiri. Persoalan pelik ini, sama seperti berbagai persoalan korupsi lainnya di negeri ini, susah diuraikan, sistemik.

Refleksi Pajak dan Paskah

Di hari Minggu nanti umat Nasrani akan merayakan Paskah. Momen ini sangat penting karena di dalamnya terpapar secara gamblang intisari iman Kristen: kasih dan penebusan Allah bagi umat-Nya. Kristus mati menebus kesalahan, dosa diampuni. Hidup baru atas pengampunan dosa itu pun dilakukan oleh umat yang memahami karya penebusan-Nya. Karya penebusan itu mampu mengubah hati kita dengan cara yang lebih sempurna.

Alih-alih membuat data serba transparan dan terperinci atas "dosa-dosa orang pajak" selama ini, yang penting dan vital dibenahi adalah mental orang-orang pajak itu sendiri: mental yang sudah diubahkan, bukan mental yang korup. Perlu ada kesadaran seperti yang dimiliki Zakheus untuk menjadi seorang yang bekerja di perpajakan.

Zakheus yang mendengar berita tentang Yesus di masa silam memutuskan bertobat setelah bertemu Yesus. Dia bersedia mengembalikan harta hasil korupsi sesuai dengan hukum yang diberlakukan Musa, yaitu hukum Taurat, hukum "mata ganti mata, gigi ganti gigi."

Slogan "orang bijak taat pajak" yang telah dirilis ke publik sejak puluhan tahun silam tak "hanya" slogan. Slogan ini memuat bayang-bayang menakutkan dengan adanya pemberlakuan beberapa aturan baru yang memuat sanksi dan hukuman yang cukup berat, sementara para pemberlakunya sendiri hidup dalam kecurangan yang membuat panas hati.

Memang benar, sebaiknya orang bijak taat pajak, namun bilamana dalam ketaatannya uang negara justru dibajak orang-orang pajak, maka kita perlu meredifinisi lagi bukti kebijakan kita: bukan hanya taat. ***

*) Guru SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo dan pemerhati masalah sosial