Judul Buku: Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942 | Penulis: Suhartono W. Pranoto | Penerbit: Graha Ilmu | Cetakan: Pertama, 2010 | Tebal: 208 halaman
Sejarah perjuangan suatu bangsa tak pernah lepas dari peran berbagai lapisan masyarakat, walau pada kenyataannya hanya beberapa gelintir nama besar saja yang diabadikan sebagai pahlawan dan dikenang dalam rentang waktu yang panjang. Kiprah para bandit -- orang-orang yang identik dengan julukan "preman" di masa kini -- yang tak identik dengan gelar pahlawan, di buku ini ditelisik dengan cukup mendalam. Penulisnya, Suhartono, memulai bahasan tentang bandit ini dengan memberikan pemaparan yang cukup panjang atas kondisi sosial-ekonomi-agraris masyarakat Jawa pada saat itu.
Hal ini dimulai saat kapitalisme mulai mewabah di negara-negara Eropa. Dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari negeri-negeri jajahan, mereka mengubah jenis tanaman yang ditanam. Commercial corps seperti indigo, kopi, tebu, dan tembakau digalakkan -- menggantikan traditional corps seperti padi dan palawija -- karena tanaman-tanaman demikianlah yang laris di perdagangan internasional.
Salah satu sebab diambilnya langkah itu karena Belanda tengah mengalami kemerosotan keuangan akibat tekanan yang ditimbulkan oleh perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830). Hal ini membuat pemerintah kolonial mengadakan Sistem Tanam Paksa mulai 1830. Selama empat puluh tahun berikutnya, hingga 1870, sistem nonbudget ini -- yang sama sekali tidak menganggarkan dana, hanya mengeksploitasi tenaga petani -- mendatangkan keuntungan sebesar 800 juta gulden untuk Belanda.
Sistem Liberal (1870-1900) dan Sistem Politik Etis (1900-1942) yang kemudian diberlakukan sebagai sistem-sistem pengganti Tanam Paksa juga tidak banyak membawa perubahan bagi kesejahteraan petani. Eksploitasi tenaga petani lewat kerja rodi dan cara-cara penguasaan lahan yang ditetapkan pemerintah kolonial tetap saja meresahkan rakyat. Akibatnya, perlawanan demi perlawanan dalam berbagai bentuk terus bergejolak.
***
Studi historis perbanditan di kalangan petani yang dibuat oleh Suhartono ini sedikit-banyak dipengaruhi oleh seorang tokoh yang sangat concern menelaah perbanditan. Ia adalah E.J. Hobsbawm, seorang sejarawan Inggris, yang telah melahirkan karya-karya Primitive Rebels (1959), Bandit (1972), dan Social Banditry (1974). Di Indonesia juga ada Sartono Kartodirdjo yang melahirkan karya fenomenal Pemberontakan Petani Banten 1888.
Bahasan dominan dalam buku Suhartono mengarah pada kondisi sosial-ekonomi-agraris masyarakat di Jawa pada saat itu. Ia menguraikan panjang-lebar perkembangan status dan peralihan kepemilikan sebuah tanah sebelum dan sesudah kedatangan pemerintah kolonial di tanah air pada tiga bab awal buku ini. Suhartono juga menguraikan beberapa istilah yang digunakan dalam kepemilikan tanah; salah satunya adalah apanage, istilah di masa lalu yang mirip dengan bengkok di masa kini, tanah yang dihibahkan kepada seorang kepala desa.
Satu hal lain yang menarik di sini adalah julukan yang kerap diberikan ke kepala desa saat itu, yaitu uler endhas loro, atau ular kepala dua. Saat itu kedudukan kepala desa sangat sulit, harus bisa menjadi mediator di antara petani dan pemerintah kolonial. Oleh karena itu mereka harus pintar membawa diri agar bebas dari tuduhan bersekongkol dengan pihak bandit maupun pemerintah kolonial.
Tekanan yang diberikan pemerintah kolonial akibat penerapan sistem pertanian yang menyengsarakan rakyat itu pada akhirnya melahirkan bandit-bandit pemberontak. Beberapa nama bandit yang disebut dalam buku ini yaitu Saniin Gede dari Banten, Jodongso dari Surakarta, dan Singabarong dari Sragen. Bahkan ada bandit yang dianggap suci dan memiliki kekuatan supranatural, salah satunya dikenal dengan nama Mas Jakaria. Mas Jakaria pernah menyatakan bahwa roh bapak dan leluhurnya yang sudah mati -- bapaknya dan kakeknya dulu juga bandit -- membantu perlawanan para bandit terhadap pemerintah kolonial.
Dari sinilah dapat dilihat bahwa walaupun para bandit ini sepertinya tak memiliki pengaruh besar dan dikenang sekian lama, kehadiran mereka amat heroik dan bahkan mengundang tindakan kultus-individu.
***
Secara keseluruhan buku ini menarik untuk diikuti karena di dalamnya dikisahkan perlawanan wong cilik atau rakyat jelata yang kerapkali luput dari perhatian di masa kini. Hanya saja, buku ini perlu banyak perombakan dari segi tata-bahasa. Sebagai buku yang dikembangkan dari sebuah desertasi, masih banyak kata dan kalimat yang terkesan akademis. Selain itu, beberapa kesalahan cetak juga masih terjadi di sana-sini.
Dalam lima bab buku ini, hanya dua bab akhir (bab keempat dan kelima) yang benar-benar menguraikan peran dan kiprah bandit yang menggelar perlawanan bagi pemerintah Belanda. Para bandit ini beraksi di berbagai wilayah Jawa dengan melakukan pembakaran lahan pertanian, pencurian hewan, atau perampokan hasil pertanian.
Selain lahan pertanian atau ternak, para bandit ini juga menyasarkan serangan dan pengacauan pada gedung dan bangunan seperti saluran irigasi, gudang atau barak milik pemerintah kolonial. Mereka lebih sering beraksi pada malam hari. Para bandit ini juga kerap menyerang orang-orang yang berkaitan dengan penerapan sistem eksploitasi tanah yang menyengsarakan rakyat. Mereka tak jarang menyerang tuan tanah, penyewa tanah, rentenir, petinggi, dan para petani serta pedagang kaya.
Perlawanan para bandit di masa lalu tak terorganisasi dengan baik, kerap muncul sebagai "letupan kecil": sesaat ada dan kemudian lenyap. Namun, di kemudian hari, peran mereka turut menyulut lahirnya beberapa (bentuk) perlawanan lain yang lebih terorganisir, mapan, dan koordinatif, hingga bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya. (*)
Sidik Nugroho
Alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang, kini mengajar sebagai guru di SD Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo
No comments:
Post a Comment