Sebuah refleksi pribadi tentang Natal dan hubungan sosial
Yesus Kristus, atau yang disebut juga Nabi Isa, tidak pernah dicatat dalam sejarah lahir tanggal 25 Desember. Ia bahkan tidak pernah bersabda agar umat-Nya merayakan hari kelahiran-Nya. Namun, dari tahun ke tahun, Natal terus dirayakan umat Nasrani. Natal sudah menjadi tradisi untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai Juruselamat bagi orang yang menerima-Nya.
Kali ini saya hendak menuangkan dengan jujur apa yang saya alami selama beberapa tahun belakangan, utamanya berkaitan dengan ucapan selamat Natal yang dari tahun ke tahun semakin sedikit saya terima dari teman dan sahabat saya yang Muslim.
Saya sangat berharap, bagi Anda yang ingin mengetahui pengalaman saya ini, menyimaknya sampai akhir. Saya tidak membahas tentang hal-hal yang bersifat teologis dan historis, atau sebutlah semacam studi perbandingan agama, namun sekedar menuangkan pengalaman saya dan berharap ada timbal-balik yang konstruktif dari pembaca untuk kelanggengan hubungan sosial; serta keharmonisan dalam kebhinekaan dan keberagamaan di negeri Pancasila ini.
| | |
Bagi sebagian orang Muslim, mengucapkan selamat Natal adalah haram. Mereka menyusun ajaran ini dengan ditopang berbagai landasan pemikiran yang menyertakan aspek historis dan teologis. Hal yang paling mendasar adalah yang saya sebutkan di atas tadi: Yesus Kristus tidak pernah lahir tanggal 25 Desember.
Di sinilah umat Nasrani perlu memahami duduk persoalannya. Saya pernah mendengar ada orang Nasrani yang menganggap orang Muslim berhaluan garis keras hanya gara-gara tidak mengucapkan selamat Natal. Kalau begini sudah kelewatan.
Sepanjang empat tahun terakhir, saya tak pernah luput mengirimi ucapan selamat Idul Fitri disertai mohon maaf lahir dan batin kepada teman dan sahabat saya yang Muslim lewat pesan pendek. Jumlah teman yang saya beri ucapan mencapai angka seratus lebih. Namun, pada saat Natal, ucapan selamat yang saya terima semakin sedikit dari tahun ke tahun. Tahun lalu, 2010, teman Muslim saya yang memberikan ucapan selamat Natal lewat pesan pendek bisa dihitung dengan jari kiri dan kanan tangan.
| | |
Menanggapi masalah ini, beberapa teman Nasrani ada yang langsung membuat pernyataan kalau orang Muslim semakin tidak toleran. Saya bukan orang yang suka berpikir positif atas apa yang tampaknya negatif. Saya cukup resah dengan ajaran "berpikir positif" yang kerap dijadikan pengalihan untuk menelusuri sebuah persoalan yang sebenarnya bisa ditelisik lebih jauh secara objektif dan terbuka. Ada juga yang menyatakan sambil lalu, "Ah, mungkin mereka lupa." Pernyataan-pernyataan demikian saya yakin tidak menyentuh ke inti persoalan. Persoalannya bukan tidak toleran atau lupa, atau alasan lain yang dikarang-karang untuk menunjukkan bahwa segalanya memang sedang baik-baik saja.
Persoalan yang hendak saya ketengahkan adalah: Bila memang orang-orang Muslim itu tidak mau memberikan ucapan selamat Natal, apakah ketidakmauan itu didasari pula -- selain landasan historis dan teologis -- dengan kebencian? Inilah yang saya kuatirkan. Saya kuatir makin banyak muncul orang Muslim yang hatinya dilandasi kebencian antipati terhadap orang Nasrani.
Dalam tahap yang parah kita sudah melihat adanya gereja yang diteror, atau penganiayaan-penganiayaan terhadap orang Nasrani di negeri ini. Para peneror dan penganiaya adalah orang-orang Muslim garis keras -- atau mereka yang berkedok sebagai orang Muslim -- yang dulunya pasti juga menerima ajaran yang dilandasi pula dengan kebencian terhadap orang Nasrani.
Saya bersyukur memiliki teman-teman Muslim yang baik. Di akhir tahun lalu, 2010, saya duduk semeja dengan beberapa teman yang semuanya Muslim dan semuanya tidak mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya tidak gelisah dan canggung sedikit pun. Saya menghabiskan waktu hingga subuh, tertawa riang dan berbagi cerita bersama mereka. Orang-orang Muslim seperti ini banyak saya jumpai di kehidupan saya -- orang-orang yang paham benar apa itu ajaran: "Agamamu agamamu, agamaku agamaku." Sementara para teroris, penganiaya, dan pembenci orang Nasrani, hanya memaksakan ajaran agama mereka disertai kebencian untuk menyatakan: "Agamaku lebih baik daripada agamamu."
| | |
Masih banyak persoalan toleransi antar umat beragama yang perlu disikapi dengan lebih bijaksana dan hati-hati. Toleransi, sejatinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Dan sekali lagi saya bersyukur untuk beberapa hal. Pertama, saya memiliki keluarga besar yang plural -- kakak-adik dari pihak ayah saya sampai sepuluh orang dan terbagi menjadi tiga penganut agama: Kristen, Katolik, dan Islam.
Lalu, saya bersyukur dapat bekerja di sekolah di mana multikulturalisme dan perbedaan agama menjadi salah satu prioritas pengembang sekolah untuk dihargai. Di sekolah saya ada seorang murid saja yang beragama Buddha; dan untuk satu orang siswa itu disediakan guru agama. Di sekolah ini juga saya memiliki rekan kerja dan sahabat-sahabat Muslim yang berbagi suka dan duka selama hampir empat tahun saya ada di sana.
Keluarga, teman-teman, dan rekan kerja yang Muslim ini, pada akhirnya membantu saya untuk melihat bahwa toleransi lebih terasah dalam keseharian, bukan dalam hari-hari besar agama. Kini, saya beranggapan, ucapan selamat Natal diberikan atau tidak, tidak jadi soal. Selama kita dapat hidup berdampingan dengan saling mengasihi, tanpa ada kebencian, saya yakin, di situ toleransi dapat dinyatakan. ***
Malang-Sidoarjo, awal tahun 2011
Yesus Kristus, atau yang disebut juga Nabi Isa, tidak pernah dicatat dalam sejarah lahir tanggal 25 Desember. Ia bahkan tidak pernah bersabda agar umat-Nya merayakan hari kelahiran-Nya. Namun, dari tahun ke tahun, Natal terus dirayakan umat Nasrani. Natal sudah menjadi tradisi untuk merayakan kelahiran Yesus sebagai Juruselamat bagi orang yang menerima-Nya.
Kali ini saya hendak menuangkan dengan jujur apa yang saya alami selama beberapa tahun belakangan, utamanya berkaitan dengan ucapan selamat Natal yang dari tahun ke tahun semakin sedikit saya terima dari teman dan sahabat saya yang Muslim.
Saya sangat berharap, bagi Anda yang ingin mengetahui pengalaman saya ini, menyimaknya sampai akhir. Saya tidak membahas tentang hal-hal yang bersifat teologis dan historis, atau sebutlah semacam studi perbandingan agama, namun sekedar menuangkan pengalaman saya dan berharap ada timbal-balik yang konstruktif dari pembaca untuk kelanggengan hubungan sosial; serta keharmonisan dalam kebhinekaan dan keberagamaan di negeri Pancasila ini.
| | |
Bagi sebagian orang Muslim, mengucapkan selamat Natal adalah haram. Mereka menyusun ajaran ini dengan ditopang berbagai landasan pemikiran yang menyertakan aspek historis dan teologis. Hal yang paling mendasar adalah yang saya sebutkan di atas tadi: Yesus Kristus tidak pernah lahir tanggal 25 Desember.
Di sinilah umat Nasrani perlu memahami duduk persoalannya. Saya pernah mendengar ada orang Nasrani yang menganggap orang Muslim berhaluan garis keras hanya gara-gara tidak mengucapkan selamat Natal. Kalau begini sudah kelewatan.
Sepanjang empat tahun terakhir, saya tak pernah luput mengirimi ucapan selamat Idul Fitri disertai mohon maaf lahir dan batin kepada teman dan sahabat saya yang Muslim lewat pesan pendek. Jumlah teman yang saya beri ucapan mencapai angka seratus lebih. Namun, pada saat Natal, ucapan selamat yang saya terima semakin sedikit dari tahun ke tahun. Tahun lalu, 2010, teman Muslim saya yang memberikan ucapan selamat Natal lewat pesan pendek bisa dihitung dengan jari kiri dan kanan tangan.
| | |
Menanggapi masalah ini, beberapa teman Nasrani ada yang langsung membuat pernyataan kalau orang Muslim semakin tidak toleran. Saya bukan orang yang suka berpikir positif atas apa yang tampaknya negatif. Saya cukup resah dengan ajaran "berpikir positif" yang kerap dijadikan pengalihan untuk menelusuri sebuah persoalan yang sebenarnya bisa ditelisik lebih jauh secara objektif dan terbuka. Ada juga yang menyatakan sambil lalu, "Ah, mungkin mereka lupa." Pernyataan-pernyataan demikian saya yakin tidak menyentuh ke inti persoalan. Persoalannya bukan tidak toleran atau lupa, atau alasan lain yang dikarang-karang untuk menunjukkan bahwa segalanya memang sedang baik-baik saja.
Persoalan yang hendak saya ketengahkan adalah: Bila memang orang-orang Muslim itu tidak mau memberikan ucapan selamat Natal, apakah ketidakmauan itu didasari pula -- selain landasan historis dan teologis -- dengan kebencian? Inilah yang saya kuatirkan. Saya kuatir makin banyak muncul orang Muslim yang hatinya dilandasi kebencian antipati terhadap orang Nasrani.
Dalam tahap yang parah kita sudah melihat adanya gereja yang diteror, atau penganiayaan-penganiayaan terhadap orang Nasrani di negeri ini. Para peneror dan penganiaya adalah orang-orang Muslim garis keras -- atau mereka yang berkedok sebagai orang Muslim -- yang dulunya pasti juga menerima ajaran yang dilandasi pula dengan kebencian terhadap orang Nasrani.
Saya bersyukur memiliki teman-teman Muslim yang baik. Di akhir tahun lalu, 2010, saya duduk semeja dengan beberapa teman yang semuanya Muslim dan semuanya tidak mengucapkan selamat Natal kepada saya. Saya tidak gelisah dan canggung sedikit pun. Saya menghabiskan waktu hingga subuh, tertawa riang dan berbagi cerita bersama mereka. Orang-orang Muslim seperti ini banyak saya jumpai di kehidupan saya -- orang-orang yang paham benar apa itu ajaran: "Agamamu agamamu, agamaku agamaku." Sementara para teroris, penganiaya, dan pembenci orang Nasrani, hanya memaksakan ajaran agama mereka disertai kebencian untuk menyatakan: "Agamaku lebih baik daripada agamamu."
| | |
Masih banyak persoalan toleransi antar umat beragama yang perlu disikapi dengan lebih bijaksana dan hati-hati. Toleransi, sejatinya tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Dan sekali lagi saya bersyukur untuk beberapa hal. Pertama, saya memiliki keluarga besar yang plural -- kakak-adik dari pihak ayah saya sampai sepuluh orang dan terbagi menjadi tiga penganut agama: Kristen, Katolik, dan Islam.
Lalu, saya bersyukur dapat bekerja di sekolah di mana multikulturalisme dan perbedaan agama menjadi salah satu prioritas pengembang sekolah untuk dihargai. Di sekolah saya ada seorang murid saja yang beragama Buddha; dan untuk satu orang siswa itu disediakan guru agama. Di sekolah ini juga saya memiliki rekan kerja dan sahabat-sahabat Muslim yang berbagi suka dan duka selama hampir empat tahun saya ada di sana.
Keluarga, teman-teman, dan rekan kerja yang Muslim ini, pada akhirnya membantu saya untuk melihat bahwa toleransi lebih terasah dalam keseharian, bukan dalam hari-hari besar agama. Kini, saya beranggapan, ucapan selamat Natal diberikan atau tidak, tidak jadi soal. Selama kita dapat hidup berdampingan dengan saling mengasihi, tanpa ada kebencian, saya yakin, di situ toleransi dapat dinyatakan. ***
Malang-Sidoarjo, awal tahun 2011
No comments:
Post a Comment